Selasa, 02 Februari 2016

MONOLOG-NYANYIAN PELANGI/naskah REMAJA



NYANYIAN PELANGI
Oleh: Catur Widya Pragolapati

ADEGAN SATU
Panggung gelap. Alunan Musik (vokal), “Ibu Pertiwi” diulang beberapa kali. Pelangi masuk membawa pohon kehidupan, bercabang 7, pucuknya lilin menyala. Duduk bersimpuh ditengah panggung, meletakkan pohon kehidupan.
Pelangi:
Namaku Pelangi... sebenarnya aku sekolah hanya mengikuti kehendak ortu. Aku sendiri sebenarnya sudah bosan, karena sekolah pelajarannya begitu-begitu saja. (mengambil 1 lilin, dari 1 cabang kemudian meniupnya).
Pada awalnya aku semangat mengikuti pelajaran. Lama-lama semangatku memudar. Teman-teman selalu menggantungkan diri padaku. Mengerjakan tugas, piket, dan kadang ulangan harian. Aku merasa dimanfaatkan oleh teman-teman. (idem).

Berangkat sekolah semangatku luar biasa. Sampai di sekolah pupuslah sudah. Aturan-aturan yang ketat, menjadikan aku berpikir, bagaimana membuat siasat. (idem).

Semakin lama aku sekolah, semakin bertambah dustaku, terhadap ortu dan guru. Pura-pura sakit pada pelajaran yang tidak aku suka. (idem, mengumpulkan lilin2 yang sudah mati. mengambil pohon kehidupan, moving sambil monolog).

Namaku Pelangi... Berangkat dari rumah, selalu tidak sampai di sekolah. Bertemu teman lain diluar sekolah. Aku tidak berfikir, bagaimana ortu bersusah-susah mencari nafkah, dan beaya sekolah.
(meletakkan pohon kehidupan, mengambil 1 lilin, ditiup. Dikembalikan pada cabangnya. Sambil monolog, meletakkan lilin2 yang mati pada cabang yang kosong)
Mengapa sekolah justru malah menjadi susah. Benarkah kata pepatah, berakit ke hulu, berenang ke tepian?
Jika aku lari dari hal ini, berarti aku mengkianati diri. Namun, haruskah ini aku jalani. (meniup semua lilin yang masih menyala).

Namaku Pelangi... mestinya sekolah mencari pengetahuan, bukan mencari ijasah. Lembaran kertas yang sah, dari lembaga yang bernama sekolah. Namun keadaan masih belum bisa berubah... haruskah aku tetap begini...

(pada pohon kehidupan) Kawan-kawan... mari kita mencari kebebasan. Kebebasan dalam mencari ilmu dan pengetahuan. (mencabut pohon kehidupan).
Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana rumahmu? Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana sekolahmu? ( diulang beberapa kali, Pelangi duduk bersimpuh di tengah Panggung. Tubuhnya luluh, tak berdaya. Menatap kedepan, tanpa harapan. Lampu hanya (fokus) pada Pelangi.
Suara:
Pelangi... jika kau tidak membongkar pemikiran-pemikiran lama, maka kau bakal dipermalukan oleh pemikiran itu sendiri. Diera globalisasi itu sendiri, bisa jadi akan berlaku seperti masa, jauh dari masa-masa sebelumnya. Bahkan hukum rimba akan berlaku kembali. Siapa kuat, itulah pemenangnya. Tataplah jauh ke depan, pelangi! Dan jangan ragu, untuk menengok sesat ke belakang. Karena, depan dan belakang, hampir tidak ada bedanya. Semuanya fatamurgana. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada... itulah!
Pelangi:
Fatamurgana? Ada tapi tiada? Tiada tapi ada? Aku kurang mengerti...
Suara:
Memang kau belum mengerti. Dan selamanya tidak akan mengerti, jika selamanya kau tidak mencari!
Pelangi:
Mencari? Mencari apa? Kepada siapa?
Suara:
Mencari apa? Tanyakan pada dirimu?
Pelangi:
Mencari...? ya, kebebasan. Aku mencari kebebasan. Kebebasan dalam berpengetahuan dan pemahaman. Lalu kemana aku mencari? Kepada siapa aku mencari?
Suara:   (tertawa)

Pelangi:   Siapa sebenarnya kau?

Suara:   Suara hatimu... kebebasan!
Pelangi:  suara hati saya...? Kebebasan?
Suara:   memang itu kan yang kau cari...?
Pelangi:   tidak... tidak... tidaaak... oh, iya.. iya... Kebebasan... tetapi saya masih berikat dan berkait dengan ortu. merekalah yang selalu menjaga dan membimbing saya. Yang sekaligus selalu mendikte disetiap langkah saya... oh menyebalkan!
ach, tttidak... bagaimanapun juga, mereka adalah ortu saya. Saya harus selalu patuh dan hormat pada mereka. Dan lagi, saya memang belum bisa lepas dari mereka. Saya masih membutuhkan mereka, dalam beberapa kebutuhan. Maka saya masih tetap berikat dan berkait dengan ortu.

Tetapi bagaimana saya bisa bebas, jika selamanya saya masih belum bisa memberi garis batas yang jelas, tentang yang berikat dan yang berkait.
Hai yang diluar sana.. apakah kau juga pernah seperti saya?
Apa kau bilang? ketidak jelasan itu telah tersaput angin. Angin yang tercipta dari dua haluan. kau dan ortu. Caranya?
Ya.. benar. Kemengertian dan kerelaan. Kita harus mengerti dan kemudian rela, betapa pentingnya mencari ilmu. Mengerti ilmu itu perlu dan kemudian rela, kemana dan dimana mencarinya. Ketidak mengertian dan ketidak relaan itu, menghambat sebuah proses pencarian.

Keberikatan dan keberkaitan, hanya ada pada nurma atau aturan-aturan, yang dibentuk oleh ortu-ortu dan diri kita sendiri. Dari situlah maka tampak garis pembatas antara yang berikat dan yang berkait.
Hai yang diluar sana... saya masih belum mengerti...
Suara:
Kau tidak akan pernah mengerti, jika selamanya tidak akan pernah mencari. Mencari, mencari mencarilah, sampai kau mengerti. (Lampu Padam).

ADEGAN DUA
Pemutaran VCD, “Belajar Sepanjang Hayat” karya siswa Sekolah Qoryah Toyyibah, Salatiga Jateng.
Usai pemutaran, lampu Panggung pelahan nyala. Semua Pelangi masuk.
Pelangi:
Iya, sekarang saya mengerti. Walau hanya sekilas. Namun setidaknya, saya bisa membuka diri, bagaimana harus berpikir.
Saya baru sadar, bahwa selama ini, saya terpatok oleh suatu hal yang ada, yang disebut pemikiran. Menerima apa adanya, tanpa pencarian kebenaran pemikiran itu.

Jangan-jangan justru ini adalah kehendak ortu? atau memang dikondisikan oleh pemikiran orang-orang sebelum kita? Ah, aku semakin bertambah pusing.
Belajar menggapai masa depan. Belajar bisa dimana-mana. Tak terbatas ruang dan masa.
Jadi selama ini yang kami lakukan adalah, belajar disaat bersekolah. Ketika libur sekolah, bahkan tamat dari sekolah maupun kuliah, selesailah! Apakah ini yang dikatakan mengerti. Walau baru awalnya saja. Lalu akirnya?
Tak terbatas. Belajar tak mengenal jenis dan usia.
Ya... selama ini kita masih terkurung oleh semua itu. Dinding yang bersekat, yang bernama sekolah. Jika pengertian sekolah, hanya sampai pada dinding yang bersekat, dengan segala jenisnya, maka demikianlah adanya.

Dunia, alam semesta ini, menyimpan banyak misteri. Masih banyak yang belum dimengerti para ahli.
Kalau demikian, kita masih perlu mencari lagi? Iya, mencari, mencari dan mencari...!
Fatamurgana. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Rupanya sudah mulai jelas keberadaannya. Bahkan ketiadaanya.

Kebebasan... Kebebasan... Dimana kau? Saya sudah semakin mengerti. Kemarilah, ajaklah saya untuk mencari, agar saya lebih mengerti...

Suara:
Kalau dunia dan semesta yang terhampar luas ini, adalah sekolah dan laborat, mengapa kita harus sekolah di dinding yang bersekat. Yang sebenarnya mengurung, membelenggu dan memisahkan kita dari apa yang sebenarnya kita cari selama ini?
Pelangi:
Kami tetap butuh ijasah. Lembaran kertas yang sah dari lembaga yang bernama sekolah...
Suara:
Dan setelah itu, musnah semua pengetahuan dan pemahaman. Karena yang kau cari adalah nilai, yang berupa peringkat angka-angka. Bukan nilai dalam bentuk kemengertian.
Pelangi:
Tetapi, bukankah hal itu bagian dari proses, tempat dimana kami belajar
Suara:
Bukan proses atau prosedur yang berlaku. Tetapi penyikapan terhadap proses itu sendiri. Sehingga kau terjebak didalamnya. Terus saja kau ikuti, penyikapan terhadap proses itu. Dan selamanya kau tidak akan bisa bersama kebebasan.
Pelangi:
Kebebasan! Beri kami motivasi, beri kami kepercayaan, agar kami bisa menyikapi kebebasan dalam suatu pencarian.
... memang tidak ada kehendak ortu, yang menginginkan anaknya, melebihi pahitnya kehidupan yang dialaminya. Dan kita, tidak ingin seperti itu. Bisakah kita dan ortu bersama, berakit kehulu dan berenang ketepian...?
Suara:
Dan akan kau temukan, disanalah rumahmu, disanalah kampung halamanmu, Pelangi!
S-E-L-E-S-A-I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar