NYANYIAN PELANGI
Oleh: Catur Widya Pragolapati
ADEGAN SATU
Panggung gelap. Alunan Musik (vokal), “Ibu Pertiwi” diulang beberapa kali.
Pelangi masuk membawa pohon kehidupan, bercabang 7, pucuknya lilin menyala.
Duduk bersimpuh ditengah panggung, meletakkan pohon kehidupan.
Pelangi:
Namaku Pelangi... sebenarnya aku sekolah hanya mengikuti kehendak ortu. Aku
sendiri sebenarnya sudah bosan, karena sekolah pelajarannya begitu-begitu saja.
(mengambil 1 lilin, dari 1 cabang
kemudian meniupnya).
Pada awalnya aku semangat mengikuti pelajaran.
Lama-lama semangatku memudar. Teman-teman selalu menggantungkan diri padaku.
Mengerjakan tugas, piket, dan kadang ulangan harian. Aku merasa dimanfaatkan
oleh teman-teman. (idem).
Berangkat sekolah semangatku luar biasa. Sampai di sekolah pupuslah sudah.
Aturan-aturan yang ketat, menjadikan aku berpikir, bagaimana membuat siasat. (idem).
Semakin lama aku sekolah, semakin bertambah dustaku, terhadap ortu dan
guru. Pura-pura sakit pada pelajaran yang tidak aku suka. (idem, mengumpulkan lilin2 yang sudah mati. mengambil pohon kehidupan,
moving sambil monolog).
Namaku Pelangi... Berangkat dari rumah, selalu tidak sampai di sekolah.
Bertemu teman lain diluar sekolah. Aku tidak berfikir, bagaimana ortu bersusah-susah
mencari nafkah, dan beaya sekolah.
(meletakkan pohon kehidupan,
mengambil 1 lilin, ditiup. Dikembalikan pada cabangnya. Sambil monolog,
meletakkan lilin2 yang mati pada cabang yang kosong)
Mengapa sekolah justru malah menjadi susah. Benarkah kata pepatah, berakit
ke hulu, berenang ke tepian?
Jika aku lari dari hal ini, berarti aku mengkianati diri. Namun, haruskah
ini aku jalani. (meniup semua lilin yang
masih menyala).
Namaku Pelangi... mestinya sekolah mencari pengetahuan,
bukan mencari ijasah. Lembaran kertas yang sah, dari lembaga yang bernama
sekolah. Namun keadaan masih belum bisa berubah... haruskah aku tetap begini...
(pada pohon kehidupan) Kawan-kawan... mari kita mencari
kebebasan. Kebebasan dalam mencari ilmu dan pengetahuan. (mencabut pohon kehidupan).
Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana rumahmu?
Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana sekolahmu? (
diulang beberapa kali, Pelangi duduk bersimpuh di tengah Panggung. Tubuhnya
luluh, tak berdaya. Menatap kedepan, tanpa harapan. Lampu hanya (fokus) pada
Pelangi.
Suara:
Pelangi... jika kau tidak membongkar pemikiran-pemikiran lama, maka kau
bakal dipermalukan oleh pemikiran itu sendiri. Diera globalisasi itu sendiri,
bisa jadi akan berlaku seperti masa, jauh dari masa-masa sebelumnya. Bahkan
hukum rimba akan berlaku kembali. Siapa kuat, itulah pemenangnya. Tataplah jauh
ke depan, pelangi! Dan jangan ragu, untuk menengok sesat ke belakang. Karena,
depan dan belakang, hampir tidak ada bedanya. Semuanya fatamurgana. Ada tapi
tiada. Tiada tapi ada... itulah!
Pelangi:
Fatamurgana? Ada tapi tiada? Tiada tapi ada? Aku kurang mengerti...
Suara:
Memang kau belum mengerti. Dan selamanya tidak akan mengerti, jika selamanya
kau tidak mencari!
Pelangi:
Mencari? Mencari apa? Kepada siapa?
Suara:
Mencari apa? Tanyakan pada dirimu?
Pelangi:
Mencari...? ya, kebebasan. Aku mencari kebebasan. Kebebasan dalam
berpengetahuan dan pemahaman. Lalu kemana aku mencari? Kepada siapa aku
mencari?
Suara: (tertawa)
Pelangi:
Siapa sebenarnya kau?
Suara: Suara
hatimu... kebebasan!
Pelangi: suara
hati saya...? Kebebasan?
Suara: memang
itu kan yang kau cari...?
Pelangi: tidak...
tidak... tidaaak... oh, iya.. iya... Kebebasan... tetapi saya masih berikat dan
berkait dengan ortu. merekalah yang selalu menjaga dan membimbing saya. Yang
sekaligus selalu mendikte disetiap langkah saya... oh menyebalkan!
ach, tttidak... bagaimanapun juga, mereka adalah ortu saya. Saya harus
selalu patuh dan hormat pada mereka. Dan lagi, saya memang belum bisa lepas
dari mereka. Saya masih membutuhkan mereka, dalam beberapa kebutuhan. Maka saya
masih tetap berikat dan berkait dengan ortu.
Tetapi bagaimana saya bisa bebas, jika selamanya saya masih belum bisa
memberi garis batas yang jelas, tentang yang berikat dan yang berkait.
Hai yang diluar sana.. apakah kau juga pernah seperti saya?
Apa kau bilang? ketidak jelasan itu telah tersaput angin. Angin yang
tercipta dari dua haluan. kau dan ortu. Caranya?
Ya.. benar. Kemengertian dan kerelaan. Kita harus
mengerti dan kemudian rela, betapa pentingnya mencari ilmu. Mengerti ilmu itu
perlu dan kemudian rela, kemana dan dimana mencarinya. Ketidak mengertian dan
ketidak relaan itu, menghambat sebuah proses pencarian.
Keberikatan dan keberkaitan, hanya ada pada nurma atau aturan-aturan, yang
dibentuk oleh ortu-ortu dan diri kita sendiri. Dari situlah maka tampak garis
pembatas antara yang berikat dan yang berkait.
Hai yang diluar sana... saya masih belum mengerti...
Suara:
Kau tidak akan pernah mengerti, jika selamanya tidak akan pernah mencari.
Mencari, mencari mencarilah, sampai kau mengerti. (Lampu Padam).
ADEGAN DUA
Pemutaran VCD, “Belajar Sepanjang Hayat” karya
siswa Sekolah Qoryah Toyyibah, Salatiga Jateng.
Usai pemutaran, lampu Panggung pelahan nyala. Semua Pelangi masuk.
Pelangi:
Iya, sekarang saya mengerti. Walau hanya sekilas. Namun setidaknya, saya
bisa membuka diri, bagaimana harus berpikir.
Saya baru sadar, bahwa selama ini, saya terpatok oleh suatu hal yang ada,
yang disebut pemikiran. Menerima apa adanya, tanpa pencarian kebenaran
pemikiran itu.
Jangan-jangan justru ini adalah kehendak ortu? atau memang dikondisikan
oleh pemikiran orang-orang sebelum kita? Ah, aku semakin bertambah pusing.
Belajar menggapai masa depan. Belajar bisa dimana-mana. Tak terbatas ruang
dan masa.
Jadi selama ini yang kami lakukan adalah, belajar
disaat bersekolah. Ketika libur sekolah, bahkan tamat dari sekolah maupun
kuliah, selesailah! Apakah ini yang dikatakan mengerti. Walau baru awalnya
saja. Lalu akirnya?
Tak terbatas. Belajar tak mengenal jenis dan usia.
Ya... selama ini kita masih terkurung oleh semua
itu. Dinding yang bersekat, yang bernama sekolah. Jika pengertian sekolah, hanya sampai pada dinding yang bersekat,
dengan segala jenisnya, maka demikianlah adanya.
Dunia, alam semesta ini, menyimpan banyak misteri. Masih banyak yang belum
dimengerti para ahli.
Kalau demikian, kita masih perlu mencari lagi? Iya, mencari, mencari dan
mencari...!
Fatamurgana. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Rupanya sudah mulai jelas
keberadaannya. Bahkan ketiadaanya.
Kebebasan... Kebebasan... Dimana kau? Saya sudah
semakin mengerti. Kemarilah, ajaklah saya untuk mencari, agar saya lebih
mengerti...
Suara:
Kalau dunia dan semesta yang terhampar luas ini, adalah sekolah dan
laborat, mengapa kita harus sekolah di dinding yang bersekat. Yang sebenarnya
mengurung, membelenggu dan memisahkan kita dari apa yang sebenarnya kita cari
selama ini?
Pelangi:
Kami tetap butuh ijasah. Lembaran kertas yang sah dari lembaga yang bernama
sekolah...
Suara:
Dan setelah itu, musnah semua pengetahuan dan pemahaman. Karena yang kau
cari adalah nilai, yang berupa peringkat angka-angka. Bukan nilai dalam bentuk
kemengertian.
Pelangi:
Tetapi, bukankah hal itu bagian dari proses, tempat dimana kami belajar
Suara:
Bukan proses atau prosedur yang berlaku. Tetapi penyikapan terhadap proses
itu sendiri. Sehingga kau terjebak didalamnya. Terus saja kau ikuti, penyikapan
terhadap proses itu. Dan selamanya kau tidak akan bisa bersama kebebasan.
Pelangi:
Kebebasan! Beri kami motivasi, beri kami kepercayaan, agar kami bisa
menyikapi kebebasan dalam suatu pencarian.
... memang tidak ada kehendak ortu, yang menginginkan anaknya, melebihi
pahitnya kehidupan yang dialaminya. Dan kita, tidak ingin seperti itu. Bisakah
kita dan ortu bersama, berakit kehulu dan berenang ketepian...?
Suara:
Dan akan kau temukan, disanalah rumahmu, disanalah kampung halamanmu,
Pelangi!
S-E-L-E-S-A-I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar